By: Khairul Hibri
Waktu masih kecil dulu, sering orangtua mengingatkan ketika ada kekeliruan dalam perilaku menerima atau memberi sesuatu.
Ketika menerima buah tangan, dan alpa mengucapkan sesuatu. Maka orangtua akan bertutur;
“Ayo, ucapkan apa dengan kakak yang sudah memberi?”
“Terima kasih, kak!!”
“Nah, gitu kalau anak sholeh. Nggak lupa berterima kasih.”
Terus, kalau memberi. Dan tanpa sengaja mengulurkan tangan kiri. Kembali orangtua akan mengingatkan.
“Kalau memberi yang baik itu, pakai tangan apa, sayang?”
Atau kalau tidak;
“Pakai tangan kanan, dong memberinya. Masak pakai tangan kiri.”
Anak-anak biasanya bergegas memperbaiki kekeliruan mereka.
Itulah adab memberi/menerima yang diajarkan oleh orangtua tempo dulu. Kepada pribadi. Dan ane yakin, hingga hari ini para orangtua masih menerapkannya.
Tidak perlu sekolah tinggi, untuk menilai pemberian/penerimaan itu, penuh adab atau tidak.
Mbok-mbok, yang tak pernah mengenyam sekolah pun bisa menilai. Kalau ada si cucu memberikan hadiah dengan dilemparkan di hadapnnya, ia akan marah. Atau minimal, geleng-geleng kepala. Tidak terima dengan perilakuan itu.
Terkhusus bagi sang pemberi. Menjaga perasaan si penerima itu harus. Meski berstatus ‘di atas,’ bukan lantas merendahkan yang diberi. Karena hal ini bisa menyakiti hati si penerima.
Allah pun melarang hal demikian itu. Dan menyebutkan, bahwa perkataan yang baik, itu lebih mulia dari pemberian yang dibarengi perilaku yang menyakitkan bagi si penerima.
Suka memberi adalah amalan sangat mulia. Sangat dianjurkan dalam agama. Dan pelakukanya dimuliakan Allah dan Rasul-Nya.
Dan tentunya tidak sampai di situ. Sebab, Allah dan Rasul-Nya pun, telah menuntunkan tentang tata cara memberi.
Lihatlah, bagaimana Rasulullah Saw, begitu lembut dan sopan, memberikan hadiah makan, kepada pengemis tua lagi buta di tengah pasar. Beragama Yahudi lagi.
Dihaluskan makanannya. Dan disuapkan dengan penuh kehati-hatian. Dan orangtua itu sangat menikmati suguan yang siberikan.
Tahu, bagaimana perilaku orangtua buta kepada Nabi?
Kasar. Selalu menjelek-jelekkan Nabi. Di hadapnnya sendiri. Tapi Nabi tidak mengubris. Tetap dimuliakannya orangtua itu.
Apa efeknya?
Di kemudian hari, orangtua yahudi itu pun masuk Islam. Setelah mengetahui, bahwa yang selama ini memberinya makan dengan penuh kehangatan, adalah Nabi Muhammad Saw, yang selalu ia caci maka.
Pelajarannya. Ternyata memberi dengan adab memuliakan si penerima, itu bisa melembutkan hati. Bisa mengundang hidayah Allah. Maka, ikutilah jejak mulia ini.
Maka sangat tidak patut ditiru. Bila ada seorang pemimpin, memberikan hadiah kepada rakyatnya yang miskin jelata dengan cara dilempar.
Jangankan hendak dibandingkan dengan Nabi. Disandingkan dengan mbok-mbok yang tak sekolah pun, sangat jauh.
*Ketua Pusat Pengembangan Wawasan dan Tsaqofah Islamiyah (PUSPENWAS) PEMHIDA Jatim