Oleh : Muh Idris*
Bilal bin Rabah dan Umayyah bin Khalaf itu bagaikan langit dan sumur yang kering. Dilihat dari banyak sisi Bilal tak akan pernah bisa menyamai tuannya tersebut. Namun, ketika Bilal bin Rabah menerima Islam sebagai agamanya, maka dia mampu membalikkan keadaan. Dahulu ketika berhadapan dengan tuannya, Bilal akan menundukkan kepalanya bahkan akan merangkak, namun ketika Islam menyapanya dia mampu menegakkan kepalanya penuh kehormatan dan kepercayaan diri.
Kita pun (Indonesia, pen) dibanding dengan Amerika Serikat hampir memiliki perumpamaan yang sama, antara langit dan sumur. Kita patut memuhasabah diri, dengan Islam yang sama mengapa kita tidak mampu membalikkan keadaan?. Salah satu jawabannya adalah karena sifat Thaga’ masih bercokol dalam diri kita. Kalangan budak dan kaum lemah adalah golongan yang paling banyak menerima Islam di awal perjalanannya. Bukan karena untuk mencari perlindungan, tapi di saat diri merasa bahwa kita tidak punya Ilmu, harta juga tiada, bahkan berada dalam penindasan, maka Islam pun memberikan pengakuan yang sangat agung, bahwa mereka adalah generasi yang selamat dunia dan akhirat.
Abu Lahab dan kawan-kawan merasa memiliki segalanya namun tak mendapat pengakuan apapun, bahkan mendapatkan ancaman, jangankan Akhirat, di dunia pun mereka telah mendapatkan kebinasaan (baca surat Al-Lahab).
Menghilangkan Thagaa – merasa bisa – adalah pekerjaan utama bagi seorang yang ingin merasakan manisnya berislam. Seluruh Nabi diatur oleh Allah untuk tak merasa bisa dalam kehidupannya, dan kemudian bersandar kepada yang maha bisa, Al Qodiir. Kisah yang sangat masyhur ketika Nabi Musa Alaihissalam bersandar kepada Ilmunya, maka Allah menghadir Khaidir Alaihissalam.
Latihan-latihan sederhana dapat kita biasakan untuk mengikis Thaga’ ini. Pertama, Melaksanakan perintah tanpa banyak bertanya adalah langkah awal. Bertanyalah sekedarnya dan bekerjalah sekeras-kerasnya. Kedua, jangan terlalu berharap apa yang diterima dari apa yang dikerjakan, tapi bekerjalah, karena dunia ini hanya tempat menanam/bekerja, adapun pendapatan yang sejati adalah di akhirat.
Latihan-latihan tersebut apabila dibiasakan, maka akan melahirkan ketajaman rohani, sehingga cahaya wahyu itu akan menembus sampai relung hati terdalam. Ketika relung hati itu telah dipenuhi wahyu, maka hati akan memancarkan cahaya yang mampu menaklukkan problematika sebesar apapun di dalam kehidupan ini. Sebagaimana generasi Salafussaleh telah mempraktekkan, para pendahulu-pendahulu di Hidayatullah pun telah mempraktekkan ini dengan gemilang.
Akhirnya, tinggallah kita sebagai pelanjut estafeta perjuangan ini, apakah tongkat estafet itu mampu kita lanjutkan ke garis finish atau kita wariskan ke genarasi pelanjut, itu sangat tergantung dari upaya kita mengikis thaga’ dari diri kita masing-masing. Wallahu a’lam
*Pembina PEMHIDA Jatim, Da’i dan Dosen STAI Luqman al Hakim, Surabaya