Oleh : Muhammad Jundy*
Sepanjang Maret – Juni 2020, Indonesia menghadapi ujian bertubi-tubi. Rentetan kejadian buruk bergulir ke setiap sudut-sudut negeri. Dimulai Pagebluk Covid-19 yang mengacaukan stabilitas sosial –yang hingga hari ini pun belum menemukan titik terang kapan akan berakhir– hingga peristiwa penegakan hukum yang membuat pengap ruang demokrasi republik ini.
Bagaimana tidak, terdakwa kasus penyiraman Air keras kepada mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan hanya dituntut 1 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU). Sebuah tuntutan –banyak kalangan menyebut– menghina akal sehat.
Tuntutan tersebut berbanding terbalik dengan kasus penyiraman air keras serupa yang pernah terjadi di Indonesia. Dilansir dari suara.com (13/06/2020) kasus penyiraman air keras lainnya rata-rata dikenai hukuman penjara lebih dari 8 tahun. Contohnya kasus Eka Puji Rahayu dan ibunya, Khoyyimah pada bulan Juni 2018. Eka dan Khoyyimah menjadi korban penyiraman air keras oleh suami sekaligus menantunya, Ruslam.
Motif pelaku adalah rasa cemburu karena tidak terima diceraikan oleh istri. Ia dituntut 8 tahun penjara akibat perbuatannya tersebut. Lain lagi yang terjadi di Bengkulu, terdakwa penyiraman air keras, Heriyanto kepada istrinya divonis 20 tahun penjara oleh JPU.
Publik sangat menyanyangkan tuntutan JPU, yang memberikan hukuman pidana ringan terhadap Rony Bugis dan Rahmat Kadir selaku terdakwa. Dengan alasan, tidak terbuktinya dakwaan primer pasal 355 KUHP tentang catatan penganiayaan berat berencana.
Pasal ini sendiri berisi ancaman 12 tahun penjara. Penjelasan berikutnya, JPU mengungkapkan kedua terdakwa terbukti belum pernah melakukan tindak kejahatan, mengakui kesalahan, bersikap kooperatif dan mengabdi kepada insitusi polri selama 10 tahun. Alasan yang terkesan alibi belaka. Mengingat tugas polisi adalah melindungi bukan menciderai. Yang lebih menggelikan, JPU mengatakan kedua terdakwa terbukti tidak sengaja.
Haris Azhar, pegiat hukum dan HAM menilai tuntutan yang diberikan merepresentasikan bahwa pengadilan hanyalah rekayasa. Diciptakan seolah-olah menyelesaikan kasus. selain itu, Haris Azhar menambahkan banyak kejanggalan selama proses persidangan. Misalnya, pemilik CCTV yang dihadirkan ke persidangan. Seharusnya yang dihadirkan adalah videonya sebagai bukti kuat kejadian.
Tegakkan Hukum Seadil-adilnya!
Adagium hukum tajam ke bawah tumpul ke atas bukanlah isapan jempol belaka. Tuntutan 1 tahun kepada terdakwa, membuat publik semakin yakin untuk berasumsi ada pemain belakang layar yang erat kaitannya dengan algoritma kekuasaan. Dengan sendirinya, publik akan memberikan stempel “ambruknya keadilan di negeri kita” ibarat rumah yang sengaja dibongkar oleh si empunya tersebab takut aib kekuasaan terlihat jelas di depan mata keadilan rakyat.
Selain itu, tuntutan berikut memberikan penegasan, tidak ada tempat aman bagi pejuang yang vokal menyuarakan kebenaran. Bagi pejuang yang berusaha membuka kartu As kejahatan kekuasaan (kasus mega bintang korupsi). Lebih jauh lagi, ketidakadilan yang terjadi di pengadilan Novel Baswedan, mengindikasikan suramnya masa depan hukum di Indonesia.
Kendati ambruknya keadilan di Indonesia, publik selalu berharap ada perbaikan besar-besaran di ranah hukum. Evaluasi kinerja kejaksaan atas praktik pemberian tuntutan. Evaluasi demikian diharapkan sebagai titik balik untuk mengimplementasikan asas hukum yang begitu masyhur di telinga masyarakat “Equality Before the Law”.
Bahwa semua orang dipandang sama harkat dan martabatnya di mata hukum. Tanpa membedakan strata sosial, suku, agama, ras maupun antar golongan. Tegakkan hukum seadil-adilnya! []
*Presiden BEM STAIL Surabaya