Oleh: Supriyanto Refra*

Bagaimana seharusnya mencintai diri?
Di era 1960-an, meningkatkan “perhargaan diri” dan berperasaan positif tentang diri sendiri sangat “ngetrend” di ranah psikologi. Hal ini berangkat dari penelitian yang menemukan bahwa orang-orang yang menilai dirinya tinggi pada umumnya menunjukan kinerja yang lebih baik dan membuat lebih sedikit masalah.
Banyak dari peniliti bahkan pembuat kebijakan pada saat itu sampai pada keyakinan bahwa meningkatnya penghargaan diri (motivasi) seseorang dapat menuntun pada keuntungan sosial yang nyata: kejahatan semakin menurun, catatan akademik yang semakin membaik dan lapangan pekerjaan yang semakin meluas.
Sebagai hasilnya, di awal dekade 1970-an, praktik penghargaan diri mulai diajarkan oleh para orang tua, ditekankan oleh para terapis, politisi, dan guru, serta dilembagakan dalam kurukulum-kurukulum pendidikan.
Sebagai contoh, para murid yang prestasinya kurang maksimal, diberi motivasi untuk tidak terlalu merasa kecewa dengan rendahnya pencapaian mereka. Para guru merekayasa dengan memberi trofi palsu dan serangkaian kegiatan menarik untuk memompa motivasi atau penghargaan diri atas para murid.
Namun, penelitian di awal dekade 1960-an ini terbantahkan oleh sebuah data yang dikeluarkan pada penelitian generasi berikutnya. Bahwa, tidak ada dari kita yang istimewa. Ternyata, sekedar memotivasi diri akan lemahnya pencapaian sendiri itu tidak berarti apa-apa, kecuali jika kita memiliki alasan yang kuat akan kualitas diri kita.
Karena, pada kenyataannya, kegagalan atas segala capaian sungguh berguna dan diperlukan untuk membangun seseorang menjadi orang dewasa yang tangguh dan sukses.
Faktanya, mengajar orang untuk menyakini bahwa mereka istimewa dan merasa baik tentang diri mereka sendiri dengan alasan apapun tidak lantas menjadikan mereka menjadi orang yang hebat, justru sebaliknya.
Yang menjadi masalah dengan adanya peningkatan penghargaan diri ini adalah bahwa ukuran yang digunakan berdasar pada seberapa positif kita melihat diri sendiri. Padahal ukuran yang benar sesungguhnya terletak pada bagaimana kita dapat memahami aspek negatif dari diri sendiri.
Ukuran Keberhasilan Diri
Menyakinkan diri sebagai mahluk yang spesisial merupakan buah strategi yang gagal. Pengukuran yang benar tentang penghargaan diri adalah bukan bagaimana seseorang merasakan pengalaman positifnya, namun lebih pada bagaimana dia merasakan pengalaman negatifnya.
Karena sudah seharusnya seseorang yang memiliki penghargaan diri yang tinggi mampu melihat sisi negatif pribadinya secara jelas. Jika apa yang dilakukannya salah, dan kurang untuk mencapai sesuatu hal. Maka itu bisa dijadikan sebuah pelajaran untuk tetap bangkit. Bukan sebaliknya, mempostifkan tindakan yang negatif.
Hal yang seharusnya dilakukan adalah menyalahkan tindakan yang salah, dan membenarkan tindakan yang benar. Ini adalag ukuran yang benar jika ingin menghargai diri. Karena sudah sewajarnya, kesalahan itu ada untuk menjadi sebuah pelajaran agar mencapai taraf kebenaran.
Kunci dari ukuran menghargai diri adalah tidak terus terbuai dalam pembenaran segala kesalahan diri.
*Founder Eefektif, Sekdep Kamsat KAMMI Daerah Surabaya, Mahasiswa STAIL Surabaya