Oleh: Moh. Syahri Sauma*
Pemuda selalu identifk dengan dua hal; kekuatan fisik dan memiliki visi yang jauh kedepan. Menerobos ruang dan waktu.
Idealnya, dua sifat dasar ini selalu tertanam dalam diri seorang pemuda. Namun, sifat dasar itu akan sirna jika seorang pemuda tidak bergerak.
Iya bergeraklah…! Kenapa bergerak? Karena dengan bergerak dia akan mengenali kekuatan dirinya. Seraya dengan itu, pepatah Arab mengatakan;”Bergeraklah, karena dalam gerakan itu ada barokah.”
Keberkahan yang dimaksud adalah bertambahnya kebaikan.
Bergeraknya seorang pemuda itu senantiasa dinanti-nanti. Maka, pemuda sepatutnya memiliki motivasi yang pantang menyerah dan selalu ingin berbuat lebih jika telah menyelesaikan sebuah urusan.
Seperti dalam Surat (Al Insyirah:7) “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Dalam konteks ayat 7 surat al insyirah bisa dikatakann; akselerasi/percepatan (meminjam bahasa Ustadz Jamaludin Nur dalam buku Generasi Progresif), yaitu
Sebuah gerakan apabila diimbangi dengan kekuatan intelektual dan spiritual yang mumpuni, tentu akan melahirkan gerakan yang luar biasa untuk diri dan organisasi.
Tantangan pemuda di era industr 4.0 sangat mengkhawatirkan bila penempaan spiritual dan mental tidak segera terlaksana, maka akan menjadi generasi bebek (follower). Kini, saatnya pemuda mengambil alih semua aspek strategis untuk menjadi sebuah generasi progresfi yang solutif.
Teladan Dari Pemuda Mulia
Dalam sejarah Islam, peran pemuda dalam mengambil peran strategis sudah dilakukan oleh sahabat muda dengan kepandaian dan ketangkasan yang luar biasa, yakni Ali bin abi Thalib. Bagaimana beliau, menggantikan tidur Nabi, ketika Nabi dengan Abu Bakar dan para sahabat lainnya pergi hijrah ke Madinah.
Ali menggantikan tidur Nabi, ketika kaum Quraisy mengepung rumah Nabi. Setelah masuk dan melihat di tempat tidur Nabi, ternyata bukan Nabi Muhammad tetapi Ali. Saat itu pula, kaum Quraisy tidak berani membunuh Ali, karena yang dicarinya adalah Nabi Muhammad. Ketika itu umur Ali bin Abi Thalib masih sangat muda, berani mengambil langkah yang strategis dengan menggantikan Nabi tidur ditempet tidur Nabi Muhammad SAW.
Kisah yang kedua, ketika Usamah Bin Zaid yang ketika itu masih berumur 18 tahun, bergerak menuju perbatasan Syam, memimpin perang dan menahkodai para sahabat senior. Sebelum berangkat ke medan perang, terlebih dahulu Usamah menemui Rasulullah yang masih sakit. Ketika sang panglima termuda mencium wajah beliau, Rasul tak mengatakan apa pun selain mendoakan sekaligus mengusap kepala usamah. Belum jauh pasukan bergerak. Kabar wafatnya Rasulullah datang, sehingga Usamah menghentikan laju pasukannya. Selanjutnya, ia bersama Umar dan Abu Ubaidah bergegas ke rumah sang Nabi.
Melalui musyawarah yang masih diliputi kesedihan, kaum muslimin sepakat mengangkat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah. Abu Bakar kemudian menyuruh Usamah kembali memimpin pasukan, seperti perintah Rasulullah.
Bersama pasukannya, Usamah bergerak cepat meninggalkan Madinah menuju perbatasan Syam. Setelah melewati beberapa daerah yang masih tetap memeluk Islam, akhirnya mereka sampai Wadilqura.
Dengan strategi perang yang matang, pasukan Usamah mampu mengalahkan musuh secara cepat. Setelah 40 hari kemudian, mereka kembali ke Madinah dengan membawa sejumlah harta rampasan perang serta tanpa jatuh korban satu pun. Sejak saat itu, Usamah disegani oleh para sahabat.
Dalam konteks keindonesiaan, bagaimana para pemuda mengawal proses proklamasi untuk kemerdekaan republik Indonesia. Bagi kaum nasionalis tua, kemerdekaan harus dipersiapkan dan diselenggarakan oleh PPKI, seperti mandat yang diberikan pemerintah Jepang. Sementara bagi kaum Muda, menganggap proklamasi kemerdekaan tidak boleh sebagai hadiah pemerintah Jepang. Karena itu, kaum muda menolak bila kemerdekaan dilakukan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan) yang dianggap bikinan jepang.
Persitiwa rengas dengklok sering dianggap sebagai keberhasilan kaum muda menyepakati “percepatan” proklamasi kemerdekaan kepada Soekarno-Hatta.
Dari tiga kisah sejarah di atas, bagaimana gambaran peran pemuda dalam bergerak secara strategis dan solutif untuk agama dan bangsa. Hal inilah yang seharusnya menjadi sebuah pelajaran buat generasi zaman now, menjadi pemuda yang tidak baperan tapi memiliki peran, pemuda yang memiliki andil tidak kerdil dan pemuda yang punya mental tangguh tidak angkuh.
Di dalam surah Al Qalam, dijabarkannya kultur tajamnya cita-cita, yang merupakan spirit bagi para kader dalam melaksanakan amanah mengemban dakwah, pendidikan, social, kesehatan, ekonomi dan lembaga amiz zakat yang berangkat dari al-qur’an, kesadaran akan meningkat ketika berqur’an.
Kultur berqur’an adalah nilai yang dahsyat serta strategis bagi seorang kader.
Di Al Muzzamil, factor kultur ibadah terangkum dalam tujuh amalan jika konsisten dilaksanakan para kader, akan mengahsilkan pribadi fenomenal.
Ketika melakukan sholat malam, otomatis membaca al-Qur’an, berzikir, tabattul (konsentrasi) menghasilkan tawakal dan out put dari orang yang tawakkal adalah sikap mental sabar. Ciri dari seorang kader yang telah menerapkan kultur ibadah dalam kesehariannya, adalah tidak pernah dia, terus bergerak, dinamis, selesai mengerjakan satu pekerjaan dilanjutkan mengangkat pekerjaan selanjutnya.
Sedangkan, di Al-Muddatsir, di dalamnya ada pentunjuk bagaimana memberi peringatan kepada individu-individu lain yang kurang.
Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan; kehidupan seorang pemuda adalah dengan ilmu dan ketakwaan. Dua bekal ilmu dan ketakwaan akan melanggengkan seorang pemuda menuju pemuda yang unggul dan bermartabat. So, bergeraklah wahai pemuda….!!!
*Ketua Pemhida Jawa Timur