By: Khairul Hibri*
Lagi rame soal milenial. Penyebabnya salah seorang staf khusus (stafsus) presiden. Itu, yang menyurati para camat pakai korp resmi negara.
Sebenarnya, secara pribadi, sangat mendukung keterlibatan para pemuda/milenial dalam membangun negeri ini.
Karena potensi pemuda itu luar biasa. Mulai dari kekuatan fisik, idealisme, cita-cita, semua masih ideal. Pas berada di puncak-puncaknya.
Gerakannya cepat. Lincah dan gesit. Pantang menuerah. Itu karakter pumuda sejati.
Sampai-sampai bapak proklamator Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyampaikan;
“Beri aku sepuluh pemuda akan kuguncang dunia.”
Bayangkan. Hanya dengan berbekal sepuluh pemuda, dunia ini bisa diguncang.
Pertanyaannya? Pemuda seperti apa yang masuk kriteria sang bapak proklamator?
Sudah barang tentu bukan asal pemuda. Asal melenial. Tapi belum jelas track record-nya. Termasuk kepribadiannya.
Dua hal ini, seharusnya menjadi acuan, bila hendak melibatkan para pemuda dalam membuat perubahan.
Bukan karena ketenaran. Apalagi hanya berbasis kesuksesan membangun bisnis pribadi. Apalagi, atas dasar kedekatan persoal dengan pribadi/keluarga bersangkutan.
Pasti hancur. Jauh panggang dari api. Karena berpotensi diselipi kepentingan-kepentingan pribadi.
Soal pentingnya melibatkan kaum milenial, sejatinya juga sudah dituntunkan oleh teladan agung Rasulullah Saw.
Misal. Betapa beliau lebih memilih Usamah bin Zaid, sebagai panglima untuk sebuah ekpedisi.
Berbasis pada apakah Rasulullah Saw?
Bukan kekeluargaan. Karena bila itu yang dijadikan acuan, Ali bin Abi Tholib nampaknya lebih berhak.
Karena ia bukan sekedar sepupu. Tapi juga menantu.
Bukan pula didasari kedekatan. Karena Abu Bakr sosok yang paling dekat kepada Nabi. Waktu hijrah, beliaulah yang dipilih oleh Rasulullah Saw, ketika hijrah.
Lalu atas dasar apa?
Keprofesionalitasan lah yang menjadi rujukan. Tentu tak cukup di situ. Track record, terutama masalah kepribadian, juga menjadi acuan.
Sebab, tidak mungkin Rasulullah Saw, mengangkat seorang panglima berkepribadian ganda.
Karena sebagai seorang panglima perang. Saat itu. Bukan hanya bertugas mengatur siasat perang. Tapi juga harus mengimami sholat jamaah. Semua titahnya pun harus ditaati.
Bagaimana hasil dari penunjukan ini?
Sukses besar. Kaum muslimin mampu meraih kemenangan besar.
Adapun penunjukkan atas dasar profesionalitasan, Usamah bin Zaid pernah berkisah.
Suatu hari, ia bersua dengan Rasulullah Saw.
Dalam perjumpaan itu, Usamah menanyakan prihal sosok yang dicntai oleh Rasulullah Saw.
“Siapakah orang yang paling engkau cintai?” tanya Usamah.
Beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Aisyah.”
Usamah kembali berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasulllah?”
Beliau menjawab: “Ayahnya”.
Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”.
Lalu siapa?
Rasulullah Saw menjawab ini, lalu ini, kemudian ini, hingga Usamah sendiri menghentikannpertanyaannya. Sebab beliau khawatir, masuk dalam urutan twrakhir. Atau tidak masuk terdaftar sama sekali.
Padahal, sejatinya tidak juga demikian. Di banyak peristiwa, Rasulullah Saw, menunjukkan cintanya yang dalam kepada beliau.
Lihat. Dalam peristiwa pemilihan panglima. Bukan masalah rasa-rasa yang dikedepankan dalam penunjukkan seorang pemuda. Tapi penilaian. Perpaduan antara subjektivitas dan objektivitas.
Pelajaran tambahan untuk para milenial. Bila ingin benar-benar tampil sebagai ‘agen perubahan,’ maka tidak ada pilihan kecuali harus mengasah diri.
Bina diri untuk menjadi profesional. Di bidang apapun itu yang digeluti. Di samping itu, jangan lupakan untuk memoles integritas. Soal kejujuran. Amanah. Dan nilai-nilai luhur lainnya. Sebab keduanya, bak dua mata uang yang tak terpisahkan.
Jadi ingat komposisnya; muda-prefesional-integritas.
*Ketua Pusat Pengembangan Wawasan dan Tsaqofah Islamiyah (PUSPENWAS) Pemuda Hidayatullah Jatim