Oleh : Muh. Faruq
Dunia heboh lagi. Gara-gara pembelaan Presiden Macron terhadap karikatur Nabi Muhammad SAW di negaranya, Prancis. Ia juga mengatakan “Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis” dan “mereka ingin menguasai tanah kita.”
Sontak saja, pernyataan yang ia lontarkan dalam sebuah pidato tersebut menuai kecaman. Khususnya dunia Islam. Presiden Erdogan bahkan menyebut Presiden 42 tahun tersebut sebagai penyebar islamophobia. Hingga menyerukan pemboikotan produk-produk Prancis.
Beberapa negara sudah melakukan aksi itu. Di antaranya ; Iraq, Qatar, Kuwait, Pakistan hingga Maroko. Rupanya, aksi boikot tersebut cukup membuat khawatir sang presiden dan warganya. Khususnya para pengusaha. Buktinya, sang presiden meminta “segera menghentikan aksi yang tak berdasar tersebut.”
Namun demikian, dukungan tetap datang dari beberapa negara tetangga Prancis, misal, Jerman yang ‘mendukung Macron atas nama solidaritas melawan ekstremis Islam.’
Kejadian ini lagi-lagi menunjukkan bangsa Barat nampaknya masih belum memahami psikologi umat Islam. Khususnya yg berkomitmen menjalankan syariat secara kaafah/totalitas. Bagi Barat yang sangat mengagungkan kebebasan, tak ada ruang bagi agama dalam negara. Atau dalam teori sekularisme ‘memisahkan urusan agama dan negara.’
Maka, tak ada alasan menghukum pelaku penghinaan terhadap agama dengan dalih kebebasan berbicara. Maka, kesimpulan merrka, keberatan dunia Islam terhadap karikatur Nabi Muhammad SAW adalah ‘tak berdasar’ dan ‘hanya dilakukan ekstremis’. Alih-alih menghukum, tindakan seperti itu malah dilindungi.
Padahal, beberapa hari sebelumnya, Khabib Normadogedov telah memberi pelajaran berharga kepada dunia tentang bagaimana menjadi muslim sejati. Di puncak karirnya, saat semua orang menunggu aksi-aksi heroiknya di ring MMA / UFC, ia justru memilih pensiun. Mengapa? ‘Hanya’ karena sebuah janji kepada Ibunya. Apalah arti ibu bagi masyarakat modern yang individualis!? Kalau melihat riwayat Khabib, sikap tersebut erat kaitannya soal posisi Ibu yang dimuliakan dalam Islam.
Masih fresh pula diingatan dunia, bagaimana ia marah kepada McGregor karena olokannya soal agama. Lalu cerita soal ia yang menolak berjabat tangan dengan non-mahrom, menolak mengkonsumsi alkohol hingga minta kain penutup untuk menutup auratnya saat timbang berat badan – yang mengharuskan petarung hanya memakai ‘CD’ – Bagi Khabib, prinsip-prinsip agama harus dipegang teguh. Kapanpun, dimanapun.
Itulah yang nampaknya tidak dipahami Barat. Bahwa kaum muslimin akan mempertaruhkan segalanya demi memegang prinsip-prinsipnya. Yang sudah semestinya dihargai oleh siapapun, sebagaimana Muslim seharusnya tidak mengganggu keyakinan agama lain.
Sebaliknya, barat dengan ideologi ‘kebebasannya’ seringkali menerapkan kebijakan dengan standar ganda alias mencle-mencle. Prancis misalnya, tempat ‘kebebasan’ diagungkan, malah malarang penggunaan cadar. Lalu apakah kebebasan itu memang hanya untuk orang selain muslim?
Di tengah hiruk pikuk dunia seperti itulah, gelaran Musyawarah Nasional (MUNAS) Hidayatullah akan digelar. Temanya pun demikian menarik ; ‘Meneguhkan Komitmen Keummatan Menuju Indonesia Bermartabat’.
Tema di atas mengisyaratkan akan adanya problem besar umat Islam terkait dengan kemartabatan umat. Maka – bagi Hidayatullah – komitmen keummatan perlu diteguhkan demi menjadi umat yang bermartabat. Ya, komitmen keummatan, bukan sekadar komitmen berorganisasi.
Bahwa, keterpurukan Islam masa kini adalah buah dari perpecahan yang akut. Baik itu antar-negara atas nama nasionalisme ataupun antar mazhab dan organisasi. Konsep ‘ummatan wahidan’ hanya menjadi slogan atau bahan pidato tanpa implementasi riil dilapangan.
Untuk itulah, MUNAS ini seyogyanya diikhtiarkan melahirkan solusi konkrit demi mengembalikan marwah Islam dalam pergolakan global. Pelecehan agama, tuduhan terorisme, ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami umat Islam telah sepantasnya menjadi topik utamanya.
Kuantitas umat Islam yang banyak ini mau diapakan? Apakah hanya untuk boikot memboikot? Untuk demonstrasi? Atau dipoles menjadi petarung sekaliber Khabib yang tetap tegak memegang prinsip agamanya dalam pergaulan elit internasional?
Tentu, jawabannya sangat tergantung soal bagaimana Hidayatullah memoles gerakan pendidikan dan dakwahnya. Apakah menjadi sekadar ladang bisnis baru atau menjadi rahim lahirnya generasi berkualitas di masa mendatang?