Oleh: Galih Yoga Pratama*

Jadilah Pemburu Cerdas (Literasi)
Beberapa hari ini, di tengah-tengah situasi wabah virus covid-19, ketua Pemuda Hidayatullah Jatim mengeluarkan surat edaran untuk para Pemuda Hidayatullah se-Jawa Timur agar tetap beramal sholih. Salah satu aktifitas yang direkomendasikan, ialah menggalakkan karya di bidang literasi.
Menjadi pertanyaan adalah; mengapa harus menggalakkan karya di bidang literasi?
Jawabannya adalah untuk memaksimalkan momentum Work From Home
yang mengharuskan masyarakat Jawa Timur banyak beraktivitas di rumah. Selain bekerja sesuai profesi masing-masing di rumah, diharapkan para kader muda Hidayatullah juga produktif beramal sholih.
Menulis merupakan salah satu karya yang bisa dilakukan di manapun. Di perjalanan, di tempat kerja, bahkan berdiam di rumah juga sangat memungkinkan untuk menghasilkan tulisan-tulisan semisal; kisah-kisah, hikmah, hingga tulisan yang “berat” seperti ulasan atau kajian.
Bahkan beberapa ulama besar menghasilkan karya tulis fenomenal mereka di balik jeruji besi. Mereka menuntaskan karya-karya itu justru saat banyak “berdiam diri” akibat ulah rezim. Sebut saja Ibnu Taimiyah, Sayyid Qutub hingga ulama Nusantara Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang sering kita kenal Buya Hamka.
Itulah kiranya saat-saat seperti ini, di mana tidak banyak aktifitas fisik yang kita lakukan di luaran sana, bisa menjadi momen tepat untuk menghasilkan karya dengan menulis.
Menulis sejatinya adalah mengikat ilmu. Inilah jabatan kedua serta manfaat utama dalam menulis atau berliterasi. Ikatlah ilmu yang kita dapat dengan menulis. Ilmu ibarat hewan buruan yang harus diikat agar tak lepas begitu saja.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ
فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ
“Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang,
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja. ”
Dengan tegas imam Asy Syafi’i memerintahkan untuk menulis. Budaya literasi yang kuat sejak zaman shahabat hingga ulama’ dulu telah banyak mengabadikan ilmu, mengikat hewan buruan yang bisa kita nikmati hingga sekarang. Bayangkan jika para ulama tiada menulis, niscaya kita akan berada dalam kegelapan tanpa ilmu pengetahuan.
Menulis merupakan “gandengan” melengkapi ketidaksempurnaan manusia sebagai makhluk pelupa. Apapun itu ilmu dan pengetahuan yang kita peroleh segera tulis. Jika tidak, mungkin esuk, lusa atau selepas kita keluar dari ruang majlis ilmu, bisa jadi seketika itu ilmu yang mampu kita serap hilang seakan menguap begitu saja.
Jika tak ditulis benar-benar ibarat kita sudah susah payah berburu kijang dan mendapatkannya, malah lepas begitu saja. Memang sebuah kebodohan yang nyata. Catatlah seketika ilmu yang kita dapatkan, apalagi era saat ini banyak sekali media yang bisa kita gunakan untuk menulis.
Ulama’ Asy-Sya’bi rahimahullah berkata,
إِذَا سَمِعْتَ شَيْئًا فَاكْتُبْهُ وَلَوْ فِي الْحَائِطِ
“Apabila engkau mendengar sesuatu ilmu, maka tulislah meskipun pada dinding”
*Pengurus Pemuda Hidayatullah Ngawi