Oleh : Muhammad Fauzan*
Pendidikan pada dasarnya untuk menumbuhkan kepekaan diri dan menemukan dirinya sendiri sehingga terbentuk karakter yang utuh. Pendidikan karakter tidak dapat dibentuk semata-mata dengan keluasan dan kedalaman intelektual, tetapi perlu diberi keteladanan dan latihan, terutama oleh lingkungan keluarga. (KH. M. Cholil Nafis, PhD. / penulis buku “Fikih Keluarga”)
Dalam sebuah buku “Mendidik Karakter dengan Karakter” karya Ida S. Wijayanti pada bagian 2 yang berjudul Jalan Pikiran Anak yakni, suatu hari, karena ribut di dalam kelas, murid-murid di sebuah sekolah mendapat hukuman dari guru. Agar hukuman itu mendidik, sang guru menugaskan murid-muridnya menjumlahkan angka dari 1 sampai 100. Ketika murid-murid lain sedang sibuk menjumlah, tidak sampai satu menit seorang anak berjalan ke arah guru dan menyerahkan hasil hitungannya.
Ternyata jawaban anak tersebut benar yaitu 5050. Tentu saja guru heran, lalu bertanya bagaimana ia bisa menjumlah dengan secepat itu. Anak tersebut menjawab, “Mudah saja, 1 ditambah 100 sama dengan 101. 2 ditambah 99 sama dengan 101. 3 ditambah 88 sama dengan 101. Ada 50 pasangan angka yang seperti itu. Saya kalikan 101 dengan 50 maka hasilnya 5050.” Anak tersebut kemudian tumbuh menjadi seorang yang sangat pandai dalam memecahkan persoalan matematika.
Dunia kemudian mengenalnya dengan nama Carl Friedrich Gauss (1777-1855), ahli matematika dan ilmuwan dari Jerman. Ia banyak memberi sumbangan pikiran di bidang analisis, geometri, relativitas, dan energi atom. Cara yang dilakukan Gauss kecil dalam memecahkan soal matematika tentu saja bukan cara yang diajarkan oleh gurunya. Ia menemukan pemecahan matematika itu sendiri. Anak-anak dengan jalan pikirannya, ternyata mampu menciptakan pemecahan soal yang sebelumnya tak terpikirkan oleh orang dewasa.
Itulah gambaran bagaimana Gauss mampu berpikir dan menciptakan jalannya sendiri dalam memahami berbagai persoalan. Bisa jadi cara atau jalan mereka memang tidak sama sperti yang dipakai oleh orang dewasa. Selama ini, kadang anak dianggap bodoh atau salah karena cara menyelesaikan masalahnya berbeda dengan hasil pikiran orang dewasa.
Tak jarang, anak dalam keadaan sedih karena hasil pekerjaannya dianggap salah karena cara yang ditempuh anak tidak sama dengan yang diajarkan guru. Anak-anak ibarat benih pohon, meskipun bagus dan berkualitas, ia tidak akan tumbuh sempurna jika ditanam di lahan yang tandus. Segenius apa pun Gauss, kalau tidak didukung oleh guru, orangtua, dan lingkungannya, ia tidak akan menjadi orang yang hebat.
Untuk menjadi orang yang berkualitas dan menjadi rahmat bagi alam semesta, ia membutuhkan lingkungan yang mendukung, yaitu orangtua dan guru yang menghargai cara berpikirnya. Biarlah anak-anak pelajari sendiri, diri, dan dunia ini, dengan cara pandang mereka sendiri. Namun, yang sangat urgen dalam menuntut ilmu yakni bagaimana ilmu tersebut bermanfaat dan berkah bagi dirinya sendiri, keluarga, hingga masyarakat luas.
Artinya, pendidikan yang berkualitas yakni bagaimana lingkungan yang mendukung, orangtua, dan guru saling memberikan manfaat dan berkesinambungan. Manfaat dalam arti memberikan sebuah keberkahan dan berguna ilmu yang didapatkan di lingkungan tersebut, orangtua dan guru mendukung dalam proses pembelajaran, serta dapat dirasakan bagaimana manfaat ilmu yang telah dipelajari.
Adapun berkesinambungan, yakni semua stakeholder pendidikan murid, orangtua, guru, dan lingkungan saling mendukung dalam proses pembelajaran. Murid mendapatkan ilmu dari gurunya, guru memberikan ilmu yang tidak hanya mentransfer ilmu tapi memberikan pembelajaran hidup yang bernilai untuk masa depan si murid, orangtua juga mendukung proses pembelajaran dengan memenuhi kebutuhan murid, dan lingkungan yang mendukung untuk terciptanya suasana yang beriman “bersih, indah, aman, dan nyaman” dalam belajar.
Inilah yang ditawarkan oleh Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Ar-Rohmah Pesantren Hidayatullah Malang, dalam pendidikan SMP-SMA Ar-Rohmah Boarding School. Proses integral antara pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah, serta pembelajaran yang ada di asrama. Sinergi sekolah dan asrama yang selama ini terjadi saling memenuhi kebutuhan pendidikan karakter bagi si anak.
Pembelajaran yang dimulai sejak sebelum bangun tidur di tiga malam pertama yakni ketika anak melakukan sholat lail dengan sujud dan rukuk untuk beribadah kepada Allah, dilanjutkan dengan sholat shubuh berjamaah yang diikuti dzikir pagi. Tidak cukup sampai di situ, anak akan mendapatkan proses pembelajaran al Quran setelahnya dengan belajar dan menelaah serta setoran hafalan. Proses kemandirian di asrama dimulai dengan memanfaatkan waktu untuk bersih-bersih kamar dan lingkungan sekitar sebelum bersih-bersih diri (mandi).
Setelah siap dengan seragam sekolahnya, anak berangkat ke ruang makan untuk sarapan bersama untuk mendapatkan asupan gizi yang seimbang agar proses pembelajaran di kelas menjadi semangat. Perpaduan mata pelajaran umum dan agama yang ada di kelas, membuat anak semakin paham akan ilmu Allah. Di sekolah diajarkan bagaimana memahami dan menjelaskan arti ilmu Allah dalam kehidupan kita.
Iqra bismirabbik sangat ditekankan dalam menuntut ilmu. Selepas sekolah anak-anak diajak untuk bersosialisasi dengan berolahraga bersama di asrama sebelum melanjutkan pendalaman dan setor hafalan di sore hari dan menjelang istirahat malam. Inilah gambaran pendidikan integral antara proses sekolah dan asrama di Ar-Rohmah.
Ketika proses pembelajaran itu didukung oleh lingkungan yang bersih, indah, dan aman maka proses pembelajaran akan semakin nyaman. Lingkungan yang bersih dan indah berdampak pada kesehatan jiwa dan raga serta berpikir lebih fresh. Lingkungan yang nyaman berdampak pada ketenangan ketika menuntut ilmu.
Tidak ada rasa khawatir dan cemas ketika belajar. Penopang tiga unsur lingkungan tersebut sangat dibutuhkan ketika menuntut ilmu. Bagaimana dalam pembahasan kitab-kitab para salafus sholih, hal utama yang dibahas tentang thoharoh. Begitu pentingnya pembahasan tentang thoharoh atau kebersihan, dikarenakan selain bersih hati, pikiran, dan tindaktanduknya, maka kebersihan lingkungan perlu diperhatikan dengan saksama.
Ketika lingkungan tidak mendukung dalam hal ini kebersihan, maka yang terjadi adalah kesumpekan, keruwetan, dan kejumudan. Lingkungan yang tidak bersih berdampak pada bagaimana sikap kita menyelesaikan sebuah permasalahan.
Kehadiran LPI Ar-Rohmah Pesantren Hidayatullah Malang dalam hal ini SMP-SMA Ar-Rohmah yang didukung oleh SDM yang unggul dan kompeten di bidangnya, juga lingkungan yang bersih, indah, dan nyaman. Maka pilihan sebuah tempat untuk menimba ilmu sangat cocok di pesantren yang terletak di Desa Sumbersekar Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Semoga jerih payah semua stakeholder LPI Ar-Rohmah mendapat keberkahan dan perlindungan dari Allah.
*Da’i dan Guru di Ponpes Hidayatullah Malang, Kabid Organisasi Pemhida Jatim