By: Khairul Hibri*
Laki-laki itu baru datang dari perniagaan. Di dalam rumah, di dapatinya sang istri menangis histeris. Tepat di depan pintu, ruang berhala yang disembahnya.
Heran, ditanyalah prihal yang terjadi. Sambil ketakutan, istri itu menceritakan apa saja yang baru terjadi, pada Tuhan sesembahannya.
Kata sang istri, baru saja salah seorang sahabatnya, yang tidak lain adalah Abdullah bin Rawahah berkunjung ke rumah.
Karena keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan akrab, sang istri mempersilakan begitu saja ia masuk ke rumah. Tanpa penuh curiga sedikitpun.
“Setelah ia pergi, dan saya lihat kamar; ternyata ia telah mengapaki tuhan kita, hingga hancur dan berserakan di mana-mana.”
Murka lah laki-laki itu. Hilang secara sekejap rasa cinta, kasih yang dimilikinya. Hancur lebur bangunan persaudaraan, yang selama ini terbangun kokoh dan indah.
Berganti dengan kebencian yang sangat. Ingin ia bersegera menemukan laki-laki yangbtelah menghinakan tuhannya. Kemudian membalas untuk menghajarnya.
Tapi, nanti dulu. Sejenak ia perhatikan kepingan-kepingan berhala yang berserak di lantai itu, ada lintasan pikiran.
Direnunginya agak mendalam. Semakin ia hayati lintasan pikiran itu, emosinya malah semakin mereda. Logikanya semula ditunggangi nafsu, hidup.
“Tidak…tidak…tidak…,” gumamnya.
“Kalau lah Tuhan ini benar-benar berkuasa, sudah lah pasti, ia akan bisa menjaga dirinya sendiri.”
Akhirnya, laki-laki itu pun bergegas ke luar rumah. Bukan lagi untuk mencari sahabat karibnnya yang telah mengapaki tuhan buatannya itu.
Tapi, ia tengah mencari sosok pembawa kemuliaan. Yaitu Nabi Muhammad SAW.
Itulah kisah keislaman seorang sahabat mulia; Abu Darda’.
Dari peristiwa keislaman Abu Darda’ ini, kita bisa mengambil benang merah, betapa erat titik temu antara iman dan logika.
Dengan mengaktifkan logika, kita bisa mempertebal keimanan. Keraguan aan Kemahabesaran Allah, akan mudah untuk ditepis.
Keyakinan inilah yang kemudian akan menumbuhkan semangat ibadah.
Tudak hanya itu. Juga akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan. Terutama yang berkaitan dengan urusan keimanan.
Ada seorang pendiri pesantren. Ia berkisah, bahwa awal mula merintis pesantren, bermula dari pemecatan dirinya sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah, secara sepihak.
Sedih hatinya. Bukan lantara tertutupnya kran rizki. Tidak. Karena ia punya usaha kecil-kecilan.
Kegalauaannya lebih dedasari keinginannya untuk terus mengajar. Dunia yang telah digelutinya sejak remaja.
“Ya sudah, dirikan saja pesantren sendiri.”
Ujar seorang sahabat, ketika ia mencurahkan isi hatinya. Bertepatan si sahabat itu, sudah punya pesantren. Mai berkembang.
“Tapi, saya nggak punya modal apa-apa, ye,” jawabnya.
“Alaaah…. (kok pakai ragu) wong kita dulu lahir nggak pakai kathok (celana) aja lho,” jawab sang sahabat, mencoba menghilangkan keraguan.
Singkat cerita, ia pun mulai memberanikan diri merintis pesantren. Benar ternyata. Sukses. Dan sekarang sudah berdiri SMP dan SMA. Putra/putri.
Lebih dari itu, logika ini pulalah sejatinya, yang bisa menjadi kartu AS untuk membuka pikiran-pikiran orang-orang di luar Islam. Apalagi ateis.
Kisah Hasan al-Bashri, yang ditantang oleh Ateis bisa menjadi buktinya.
Ceritanya, ada seorang Ateis menantang sang Iamam debat terbuka. Tentang Tuhan. Ia akan membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Sedangkan sang ulama, diminta membuktikan sebaliknya.
Tibalah waktu yang disepakati. Masyarakat telah tumpah-ruah. Penasaran ingin menyaksikan.
Si ateis duluan datang. Ia sangat yakin, akan mampu mengalahkan sang imam. Tahukan hasilnya; akan banyak yang mengikutinya.
Teng….!
Masuj waktu diskusi. Ternyata si Imam Hasan al-Bashir belum datang. Lama ditunggu, sosok itu belum juga muncul.
Si ateis sudah berburu menyimpulkan kepada khalayak; bahwa snag imam ketakutan untuk berdebat, karena tidak punya hujjah akan keberadaan tuhan. Karena memilih tidak menghadiri diskusi.
Karena kadungblama menunggu, akhirnya hendak diakhiri acara itu. Tapi secara tetiba, di ujung sudut jalan, secara samar, nampak ada seorang berjalan ke arah tumunan massa. Tak salah, itulah sang Imam yang tengah menanti.
Belum lama sang imam tiba, si ateis langsung mencoba ‘meng-KO’ di detik pertama.
“Kenapa engkau terlambat, wahai Imam. Apa karena engkau takut, karena tidak mampu menghadirkan bukti bahwa Tuhan itu ada?”
Dengan senyum ramahnya, imam itu pun menjawab denagn penuh kesopanan dan kewibawaan.
“Engkau tahu sendiri,” sang Imam mulai menuturkan alasannyanya, “Bahwa untuknsampai ke sini, saya haru menyebrang sungai uang besar.”
“Entah mengapa,” lanjurnya, “Hati ini sama sekali tidak ada kpal/perahu penyeberangan. Lama menunggu, tidak ada yang datang.”
“Barulah secara tetiba, alu dapati pohon-pohon yang hanyut di sungai, pada bersatu-padu dengan sendirinya menjadi rakit, hingga akhirnya aku bisa menyeberang.”
“Dusta, kau Imam,” hardik ateis itu, dengan nada meninggi.
“Kenapa?!” Tanya sang Imam.
“Bagaimana bisa, ada potongan-potongan kayu dengan sendirinya bisa merakit diri menjadi sebuah rakit. Tanpa ada yang membuat.”
“Ini jelas kebohongan nyata. Mustahil!” Pekiknya.
Kembali dengan ketenangannya, sang imam berkata kepada si ateis itu;
“Kalai begitu pendapatnya. Sekedar rakit saja tidak masuk akal tanpa ada yang membuatnya. Lalu, bagaimanakah bumi dan alam semesta yang kerumitan penciptaannya melebihi rakit itu? Bukankah semestinya ada yang menciptakan.”
Mendengar sanggahan dari sang Imam, ateis itu pun hanya diam seribu bahasa. Ia tak berkutik. Sama sekali tak bisa berkilah. Ibarata bumerang, ia tengah terserang balik dengan hujjah yang dilancarkannya untuk menyerang sang Imam.
Itulah kekuatan logika. Harus dilatih. Dan dipastikan ia dituntun oleh wahyu. Sebab kalau tidak ia akan memproduksi pikiran-pikiran yang sangat liar.
*Ketua Pusat Pengembangan Wawasan dan Tsaqofah Islamiyah (PUSPENWAS) PEMHIDA Jatim