Oleh: Moh. Syahri Sauma
Menjadi orang baik adalah dambaan semua orang. Orang kaya dan orang papa juga mendambakan menjadi insan yang baik. Apalagi di akhir bulan yang penuh kebaikan (ramadhan). Tidak sedikit kaum muslimin ingin menyandang predikat orang baik. Baik dalam pandangan manusia, lebih-lebih-lebih dalam penilaian Allah.
Dalam kondisi ramadhan tahun 1441 H, ramadhan yang sangat spesial dibandingkan dengan ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Menjadikan ramadhan ini penuh dengan ujian. Situasi pandemic (covid-19) di bulan ramadhan menjadi sarana pembentukan karakter manusia untuk benar-benar manjadi baik. Sesuai perintah Allah untuk menjadi orang bertaqwa (QS:2:183).
Dalam interaksi kehidupan sehari-hari, di dunia maya maupun dunia nyata. Terlebih saat akhir ramadhan. Kita merasa sudah paling baik dalam bidang zakat, infaq dan shadaqah, merasa paling banyak sudah menghatamkan al Qur’an, merasa paling sering bangun malam (Tahajud), merasa paling banyak berinfaq dan merasa sudah mendapatkan lailatul Qadr. Dengan menstatus dan atau memposting di medsos (facebook, twitter, istagram dan whatsapp dll).Apalagi, dengan memvonis orang/kelompok situ yang baik, sana yang jahat.
Belajar dari Kisah-kisah
Terkait dengan bahaya dan buruknya perilaku merasa baik. Rasulullah SAW memberikan peringatan kepada umatnya melalui suatu kisah yang terkandung dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad.
Kisah ada dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras. Satu diantara mereka sering berbuat dosa, sementara yang satu lagi rajin beribadah. Suatu ketika, rupanya si ahli ibadah selalu menyaksikan saudaranya itu selalu melakukan dosa, hingga lisannya tak betah untuk berucap menegurnya.
Teguran pertama terlontar “Berhentilah..!” saudaraku. Teguran itu seolah tak memberikan efek apapun dan hanya masuk teilinga kanan dan keluar telinga kiri. Perbuatan dosa tetap saja dilakukan dan tak luput oleh pantuan saudaranya yang ahli ibadah.
“Berhentilah..!” ujarnya untuk kedua kalinya. Si pendosa kemudian berkata, “tinggalkan aku bersama Tuhanku, apakah kau diutus untuk mengawasiku? Mungkin karena kesal, tetiba ucapan si ibadah itu mengecam, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.”
Pada bagian akhir hadis tersebut memaparkan, tatkala keduanya meninggal dunia. Keduanya pun dikumpulkan oleh Allah. Kepada yang rajin beribadah, Allah mengatakan. “Apakah kau telah mengetahui tentangKu? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggamanKu? Drama keduanyapun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan.
“pergi dan masuklah ke surge dengan rahmatKu, kata Allah kepada sang pendosa. Sementara kepada si ahli ibadah , Allah mengatakan, “Wahai malaikat giringlah si ibdaha menuju neraka”
Hikmah yang dapat kita petik dari kisah diatas adalah bahwa orang yang rajin beribadah sering diasosiasikan sudah merasa paling baik secara mutlak dengan jaminan surge. Sementara orang yang melakukan dosa akan selalu dalam kondisi hina dan neraka balasannya. Selain itu, kisah diatas juga menyiratkan pesan secara tegas agar kita tidak merasa paling baik untuk hal-hal yang sesungguhnya menjadi hak preoregratif dan kewenangan Allah.
Dalam kisah lain, penciptaan Iblis dan Adam. Iblis merasa dirinya lebih baik daripada Adam, Iblis diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari tanah. Sehingga ketika Allah menyuruh untuk sujud kepada Adam, Iblis enggan dan takabur untuk bersujud kepada Adam (QS:2:34).
Kemudian kisah Namrud bin Kan’an, pemimpin yang dikenal dictator, otoriter dan zalim. Bahkan, ia sosok yang ingin dipuja hingga ia memproklamirkan diri menjadi Tuhan yang wajib disembah oleh rakyatnya. Singkatnya Allah mengutus seorang malaikat untuk menemui Namrud dan mengajaknya beriman. Sekali, dua kali, ajakan tersebut ditolak. “memanya ada Tuhan selain aku.” Kata Namrud.
Di kali ketiga, ajakan malaikat itu pun mendapat respon tak sedap. Akhirnya, malaikat meminta agar Namrud mengumpulkan sejumlah warganya dipelataran istana. Pada hari yang telah ditentukan Allah mengirim ribuan nyamuk atau sejenis serangga ganas menyerang mereka yang telah berkumpul. Hingga akhirnya Namrud dan pengikutnya meninggal dalam kondisi mengenaskan, karena serangga kecil bukan karena tombak dan anak panah.
Allah berkuasa membalas keangkuhan manusia yang congkak, merasa baik dan menumbangkan dengan perkara sepela. Seperti kisah makar konspirasi Abrahah dengan pasukan gajahnya yang hendak menghancurkan Ka’bah. Kedigdayaan pasukan gajahnya ditupulkan dengan pasukan kecil berupa gerombolan burung ababil ataupun kisah kematian Fir’aun yang mengaku Tuhan. Penguasa Mesir itu meninggal tenggelam di Laut Merah.
Terus berjuang
Kisah-kisah di atas menceritakan bahwa, orang yang merasa baik atau paling baik pasti akan dibinasakan oleh Allah dengan cara-Nya. Sepatutnya kita sebagai umat muslim akhir zaman, hendaknya mengambil hikmah dari kisah sejarah. Lantas bagaimana sikap kita menjadi orang yang benar-benar baik?
Tekun beribadah dan meyakini kebaikan adalah hal yang utama bagi setiap orang, tetapi justru menjadi malapetaka ketika perilaku tersebut diikuti dengan rasa ujub dan takabur dengan kewenangan menghakimi (memvonis) orang atau kelompok lain sebagai golongan yang mulia atau hina. Masuk neraka atau surga. Diberi rahmat atau dilaknat. Secara lahiriah tidak ada tolok ukur apa pun yang mampu mendetaksi kualitas hati dan keimanan seseorang secara pasti sebagai suatu kebaikan.
Islam adalah agaman humanis dan persuasive. Mengajarkan kepada umatnya agar terhidar dari perilaku merasa paling baik dan diperintahkan untuk senantiasa melakukan intropeksi diri (muhasabah) serta meluruskan niat untuk kebaikan daripada mencari kesalahan pribadi orang lain yang belum tentu buruk di hadapan Allah.
Oleh karena itu, di momentum akhir ramadhan ini, teruslah berusaha menjadi baik, namun jangan pernah merasa baik atau bahkan paling baik. Karena merasa baik adalah ujub yang dosanya membuat takjub.
*Ketua Pemuda Hidayatullah Jatim dan Alumnus Ar Rohmah Pesantren Hidayatullah Malang