Oleh : Ahmad Fauzan*
Setelah Allah ta’ala selesai menyampaikan pembahasan mengenai nikmat yang hakiki berupa ketaatan kepada-Nya maka yang menjadi musuh utama untuk mendapatkan kenikmatan hakiki itu adalah hawa nafsu. Karena hawa nafsu cenderung membujuk manusia untuk jauh dari ketaatan kepada Allah.
Secara bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu hawa nafsu harus ditundukkan agar bisa tunduk terhadap syari’at Allâh Azza wa Jalla. Adapun secara istilah syari’at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar dari batas syari’at.
Nafsu merupakan bagian dari makhluk Allah. Dengan berbekal nafsu pula manusia dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk hidup yang hidup di dunia. Berbagai kebutuhan penting manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, dan lain sebagainya, melibatkan nafsu di dalamnya. Karena itu, secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk.
Namun demikian, nafsu memiliki kecederungan-kecenderungan untuk menyimpang. Kerena itu, dalam Islam terkandung anjuran kuat untuk mengendalikan nafsu. Memang manusia tak diperintahkan untuk memusnahkannya, namun nafsu harus kita kendalikan dengan baik,jangan sampai kita yang dikendalikan oleh nafsu.
Imam Abu Hamid al-Ghazali pernah mengatakan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ûlûmiddîn yang artinya:“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”
Sepulang dari perang badar, Nabi ﷺ bersabda, “Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil dan bakal menghadapi pertempuran yang lebih besar. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah pertempuran akbar itu, wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu’.”
Nafsu menjadi musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah diri sendiri. Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu memunculkan perilaku-perilaku tercela, seperti ujub, pamer, iri, meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan haram, dan seterusnya. Lantas, bagaimana cara efektif yang bisa kita ikhtiarkan untuk jihaadun nafsi, jihad dalam mengendalikan nafsu ini?
Dalam Futuhat Al-Makkiyah karya Muhyiddin ibn Arabi, diceritakan bahwa ketika pertama kali menciptakan nafsu, Allah bertanya, “Siapa Aku?”. Nafsu membangkang dan malah balik bertanya, “Siapa pula aku ini”. Allah ﷻ murka, kemudian memasukkan nafsu dalam lautan lapar sampai seribu tahun. Kemudian dientas dan ditanya lagi, “Siapa Aku?”. Setelah dihajar dengan lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. “Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Agung, dan aku hamba-Mu yang lemah”.
Sejalan dengan itu, Abu Sulaiman Ad-Daroni juga berkata, “Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar.” Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus Saniyyah menjelaskan bahwa maksud dari perkataan ini adalah: Allah memberikan ilmu dan kebijaksanaan (hikmah) pada orang-orang yang berpuasa dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang kenyang. Makan kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung.
Terkait hal ini, menurut Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, hal pertama yang penting dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu adalah melalui puasa. Nafsu ibarat kayu kering, sementara makanan adalah bahan bakarnya. Api yang menjalar pada kayu itu akan kian berkobar manakala bahan bakar disuplai tanpa batas. Untuk memadamkannya, perlu strategi untuk mengurangi, bahkan menghabiskan, bahan bakar tersebut.
Secara luas, berpuasa juga bisa dimaknai menahan diri dari berbagai keinginan-keinginan yang tak terlalu penting. Meskipun halal, mencegah diri –misalnya- dari keinginan baju baru yang lebih mewah dibanding baju temannya. Contoh lainnya, bagaimana menyisihkan harta untuk membantu orang lain yang butuh ketimbang untuk membeli perhiasan, kosmetik, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti ini dalam jangka panjang akan menjauhkan hati manusia dari sikap tamak, mau menang sendiri, egois, dan sejenisnya.
Senyampang puasa Ramadhan 1441 masih di awal pertengahan, mari kita jadikan sebagai alat untuk menundukkan hawa nafsu yang sedemikian besar dibanding ketika di luar Ramadhan. Sehingga Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan yang tersukses dalam hidup kita. Apalagi, dengan kondisi pandemi saat ini, saatnya hawa nafsu dalam hal apapun itu, mampu kita tundukkan dan kurangi, bahkan kita kalahkan.
Cara kedua untuk menundukkan hawa nafsu sebagaimana tertuang dalam al-Minahus Saniyyah adalah mengurangi tidur. Ini bukan berarti kita begadang dengan ragam kegiatan yang mubazir. Tidur, sebagaimana juga makanan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Mengurangi tidur berarti bergiat bangun menunaikan shalat malam, memperbanyak dzikir, serta bermunajat kepada Allah, dan kegiatan-kegiatan “berat” lainnya.
Dalam hadits Rasululah ﷺ bersabda yang artinya, “Laksanakanlah qiyamul lain (sholat malam), karena ia merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian, mendekatkan kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa kalian, dan menjauhkan kalian dari berbuat dosa.” (HR at-Tirmidzi). Bisa dikatakan, nafsu ibarat hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya, menjadikan hewan itu lapar dan payah merupakan strategis yang efektif.
Hal ini sangat tepat pada saat ini, bagaimana momentum Ramadhan sebagai alat untuk menjinakkan nafsu tersebut. Terlebih, selain kita diwajibkan untuk menahan makan dan puasa, pada bulan Ramadhan, dianjurkan untuk menunaikan sholat malam. Walaupun di malam hari telah menunaikan ibadah sholat tarawih.
Demikian perihal terkait nafsu yang bisa kami tulis. Semoga Ramadhan tahun ini menjadikan Ramadhan yang berkualitas dari segi peningkatan iman serta mampu menundukkan hawa nafsu yang seringkali terlalaikan di bulan-bulan sebelum Ramadhan. Sehingga kita meraih gelar sebagai orang yang bertakwa.
*Kabid Organisasi PEMHIDA Jatim