Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini mempengaruhi segala aspek kehidupan ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, budaya, serta mindset dan mental seorang pemuda muslim. Adanya perkembangan teknologi menimbulkan transisi dalam kehidupan masyarakat yaitu terdapat peralihan dari penggunaan media yang lebih sederhana atau konvensional menjadi penggunaan teknologi dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Pemuda sebagai objek dari teknologi (pemakai) mempunyai efek yang sangat krusial ketika teknologi hanya sebagai komoditas tidak dijadikannya sebagai kuliatas. Allah menurunkan Surat pertama Al-Alaq, ayat pertama yang berbunyi; “Bacalah dengan Menyebut nama Tuhanmua yang menciptakan.” Hal ini menandakan bahwa betapa pentingnya untuk membaca, Disitulah ada proses berfikir.
Karenanya, berfikir adalah kemampuan berfikir yang kompleks dengan menggunakan proses analisis dan evaluasi terhadap suatu informasi yang diterima maupun dalam menyelesaikan permasalahan. Sedangkan berfikir kritis dapat dikatakan sebagai proses suatu mental yang sudah teroganisir untuk melakukan analisa dan mengevaluasi suatu informasi, proses mental tersebut bisa berupa cara memperhatikan, mengkategorikan, mengambil kesimpulan ataupun keputusan. Informasi yang diterima saat berfikir kritis bisa didapatkan dari hasil pengalaman, pengamatan ataupun dari komunikasi dengan orang lain yang memberi informasi. Dengan berfikir kritis jadi kita tidak mudah percaya dengan informasi yang diterima, sehingga kita melakukan analisis terlebih dahulu untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut.
Menurut Ennis (1996: 364) terdapat 6 unsur dasar dalam berpikir kritis yang disingkat menjadi FRISCO. Pertama, F (Focus) Untuk membuat sebuah keputusan tentang apa yang diyakini maka harus bisa memperjelas pertanyaan atau isu yang tersedia, yang coba diputuskan itu mengenai apa. Kedua, R (Reason) Mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau melawan putusan-putusan yang dibuat berdasar situasi dan fakta yang relevan.
Ketiga, I (Inference) Membuat kesimpulan yang beralasan atau menyungguhkan. Bagian penting dari langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan, pertimbangan dari interpretasi akan situasi dan bukti. Keempat, S (Situation) Memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir akan membantu memperjelas pertanyaan (dalam F) dan mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-bagian yang relevan sebagai pendukung. Kelima, C (Clarity) Menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan. Keenam, O (Overview), Melangkah kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil. Berfikir kirits saja tidak cukup, maka harus diimbangi dengan berfikir komprehensif, kata komprehensif dalam Islam adalah menyeluruh (syumul) atau holistik.
Dari Ibn Abbas RA, bahwa Rasulullah berkhutbah di depan manusia pada saat haji Wadha‟, beliau bersabda “Wahai umat manusia, sungguh telah kutinggalkan bagimu suatu pegangan yang tidak akan pernah tersesat jika kamu selalu berpegang padanya yaitu kitab Allah dan Sunnah NabiNya” (HR. Baihaqi)
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.(Qs. Al-Baqarah [2]: 185)
Uraian di atas menegaskan bahwa dalam Islam, tidak dibenarkan manusia bersifat sekuler yaitu, memisahkan kegiatan ibadah/ukhrowi dan kegiatan duniawi. Islam menginginkan kehidupan manusia dijalani dengan damai, tidak terkecuali juga mengenai bagaimana manusia harus berbuat dan berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari- harinya.
Saya ingin memulai dengan cerita Nabi Ibrahim dalam membangun ‘berfikir kritis’. Nabi Ibrahim membangun epistemologi Tauhidnya, atau yang akan saya sebut juga di sini sebagai ‘berfikir kritis’ melalui sebuah proses dialektika. Cara Nabi Ibrahim berfilsafat, yang dipotret oleh Al-Qur’an, mengantarkan beliau pada kesimpulan mengenai Tauhid sebagai identitas. Dan dengan bangunan epistemologi tersebut, Nabi Ibrahim melakukan kritik pada praksis sosial serta menjadi pedoman bagi ummat setelahnya. Al-Qur’an memotret proses dialektika tersebut dalam Surah Al-An’am: 75-80, yang bisa kita baca sebagai berikut,
Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin (75) Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ”Inilah Tuhanku”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, ”Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (76) Lalu, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku.” Tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, ”Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (77)
Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi, ketika matahari terbenam, dia berkata, ”Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan.” (78) Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (79)
Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, ”Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?” (80)
Wajar jika Ibrahim kemudian menjadi Bapak Para Nabi. Landasan tauhid diperoleh tidak secara doktriner, melainkan filosofis dan melalui cara berpikir yang jujur. Ada dua jalan kritik epistemologi yang dilakukan Ibrahim. Pertama, kritik atas cara berpikir masyarakat yang memandang tuhan pada basis material. Nabi Ibrahim melakukan penelusuran pada cara berpikir tersebut dengan melihat keadaan alam.
Kedua, setelah Ibrahim mendekonstruksi cara berpikir mengenai tuhan, ia melakukan kritik atas praksis keberagaman kaumnya yang memberhalakan simbol sebagai Tuhan. “Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?“, kata Ibrahim. Secara revolusioner, praksisnya dapat kita lihat dalam sirah. Nabi Ibrahim memenggal patung-patung berhala tersebut dan menisbatkan kapaknya pada patung terbesar. Ketika itu, Nabi Ibrahim “membunuh” tuhan-tuhan material. Jauh sebelum Nietzsche, Ibrahim telah mendeklarasikan: “tuhan” telah mati!
Dan tentu saja, Ibrahim harus menghadapi kekuasaan yang menindasnya. Al-Qur’an Surah Al-Anbiya: 51-70 telah menjelaskannya secara gamblang. Sikap anti-intelektual yang ditopang oleh kekuasaan menyebabkan Ibrahim harus dibakar hidup-hidup. Dan lagi-lagi kepasrahannya pada Tauhid menyelamatkannya. Nabi Ibrahim telah melakukan revolusi ruh atas materi. “Agama” yang menjadi selubung ideologis dari kekuasaan harus dibongkar. Ini yang menjadi dasar Ibrahim melakukan kritik.
Kritik Ibrahim tersebut tentu bukan kritik yang nihilistik, mendekonstruksi semua tanpa menghasilkan apa-apa. Kritik Ibrahim disandarkan pada kebenaran Tauhid. “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya” (Al-Anbiya: 51). Artinya, Tauhid menjadi landasan sentral dari seluruh aktivitas keberagamaan dalam Islam.
Islam pun tidak menganjurkan kita untuk bersikap taqlid buta. Al-Qur’an banyak memberi fondasi untuk melakukan kritik sosial terhadap realitas sosial yang tidak adil. Al-Qur’an Surah AT-Takatsur, misalnya, mengecam perilaku bermegah-megahan yang melalaikan manusia pada kewajiban ubudiyah maupun sosialnya. Surah Al-Ma’un, yang kemudian menjadi filosofi dasar KH Ahmad Dahlan untuk melakukan strategi kebudayaan dalam pengentasan kemiskinan melalui Muhammadiyah, juga mengecam praktik penelantaran terhadap anak yatim dan sikap tidak mau memberi makan fakir miskin sebagai “pendusta agama” (yukadzdzibu bid-diin). Pun banyak ayat lain yang mengecam berputarnya modal di kalangan terbatas serta kezaliman-kezaliman.
Oleh karena itu, pemuda pada zaman now hendaknya dapat meneladani sikap berfkir kritis komprehensif ala Nabi Ibrahim AS. Ada pijakan yang benar-benar terpatri dalam mindset dan mental seorang pemuda, sehingga menghadirkan sebuah perubahan untuk diri dan organisasi, untuk bangsa dan Negara yang lebih baik. Ayo jadilah pemuda kritis beradab!!