Oleh : Muhammad Faruq*
Sejak makhluk super kecil itu terdeteksi di Wuhan medio November 2019 lalu, dunia tiba-tiba berubah total.
Ya, Covid-19, nama makhluk tersebut, membuat dunia tercengang berkali-kali. Mulai prediksi yang sering keliru hingga jumlah korban yang terus berjatuhan.
Akibat dari fenomena ini, semua sektor mengalami penyesuaian. Termasuk pendidikan.
Pendidikan modern, yang selalu diselenggarakan di ruang kelas dengan beberapa siswa dan dipandu seorang guru, kini dipindah ke ruang tanpa sekat dengan pemanfaatan internet. Seorang murid tak lagi di tuntut harus ke sekolah sesuai jadwal dengan seragam khasnya. Mereka cukup standby di hadapan komputer atau smartphone, sambil minum teh – misalnya.
Adapula yang hanya menunggu instruksi atau PR dari sekolah yang dikirim via WA tanpa harus takut kehilangan penjelasan karena tak mencatat. Atau – pada tingkat terendah – tak ke sekolah berarti tak belajar. Misalnya karena gaptek, fasilitas yang tak mendukung, atau karena tak terbiasa alias malas.
Yang pasti, keadaan seperti di atas sedikit banyak merubah hasil dari proses pendidikan dan – ini yang harus dipahami – merubah porsi peranan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini, sekolah dengan kurikulum dan guru-gurunya, serta rumah dan orangtua atau walinya.
Karena sang siswa kini cukup belajar di rumah, peranan orang tua semakin menentukan. Lalu, apa yang perlu mendapat perhatian?
Pendidikan Karakter
Pendidikan sebagai upaya transformasi ilmu pengetahuan mungkin saja tetap berlangsung walau dengan konsep yang berbeda. Apalagi, kini banyak konten di internet yang bisa menunjang pembelajaran tersebut.
Namun, sebagaimana diketahui, salah satu fungsi terpenting diselenggarakannya pendidikan adalah terbentuknya budi pekerti generasi muda yang sesuai dengan norma agama dan masyarakat Indonesia. Seperti peka terhadap lingkungan, disiplin bertanggung jawab, amanah, jujur dan bertaqwa.
Sekolah sebenarnya cukup efektif dalam proses penanaman karakter tersebut pada usia sekolah, dimana seorang siswa ‘belajar bersosial’ melalui interaksi di lingkungan sekolah bersama guru, teman sebaya, kakak dan adik tingkat, penjaga kantin, petugas kebersihan bahkan security sekolah. Termasuk melatih kedisiplinan dengan adanya jadwal dan aturan sekolah.
Kurikulum sekolah tinggal mengarahkan siswa bagaimana interaksi tersebut seharusnya berlangsung sesuai karakter yang baik. Namun, bagaimana hal itu dilakukan di rumah? Apalagi ada kemungkinan kondisi ini akan berlangsung lama.
Di sinilah peran utama para orangtua. Mereka kini memikul tanggung jawab yang lebih besar daripada biasanya. Selain harus memastikan sang anak tetap menyerap ilmu baru, mereka setidaknya juga terhindar dari hal-hal negatif yang bisa mempengaruhi karakter anak di masa depan.
Ingat! Anak adalah peniru terbaik. Apa yang orangtua lakukan, akan terekam dalam pikiran mereka dan akan menjadi perilaku. Pun bagaimana respon orang tua terhadap sikap anak saat melakukan kebaikan dan saat anak melakukan kesalahan juga mempengaruhi mental mereka.
Termasuk dalam hal ini, berkenaan dengan apa yang mereka tonton di Youtube dengan HP orangtua pun akan ditiru.
Maka, apakah anak akan menjadi investasi akhirat atau justru malapetaka sedikit banyak ditentukan masa-masa pandemi ini. So, berhati-hatilah!
*Kabid Media PEMHIDA Jatim